Thursday, March 29, 2007

BEKERJA DENGAN CINTA

Bekerja adalah cinta yang mengejawantah. Dan jika kau tiada sanggup bekerja dengan cinta, hanya dengan enggan, maka baiklah engkau meninggalkannya, kemudian duduk di depan gapura candi, dan meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan cinta. (Kahlil Gibran)

Kalimat di atas adalah penggalan syair yang ditulis Kahlil Gibran, seorang penyair kenamaan dari Libanon dalam salah satu karya fenomenalnya, ‘Sang Nabi’. Syair itu mengisyaratkan bahwa pekerjaan adalah aktivitas yang harus dijalani dengan rasa cinta. Bahkan, pekerjaan adalah perwujudan dari rasa cinta itu sendiri.

BEKERJA; HAKIKAT HIDUP MANUSIA
Sebagian orang menganggap bahwa bekerja adalah kutuk yang ditimpakan kepada manusia karena dosanya. Jika tidak ada dosa dalam sejarah manusia, pastilah pekerjaan tak diperlukan. Segala kebutuhan akan datang dengan sendirinya bagi manusia yang hidup dan tinggal di Eden. Benarkah? Kejadian 2:15 menegaskan sebuah fakta yang berbeda. Bekerja adalah sesuatu yang telah diamanatkan Allah sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Kata “mengusahakan” dan “memelihara” taman dipakai Allah untuk memberi mandat bagi manusia yang diciptakan-Nya.
Memang sesudah peristiwa kejatuhan ada kutuk yang ditimpakan berkaitan dengan pekerjaan. Tuhan berkata bahwa, “Dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu… Dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu…” (Kej. 3:17, 19). Tetapi ini bukan petunjuk bahwa pekerjaan baru dimulai sesudah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Intinya, Allah menciptakan manusia untuk bekerja, bukan untuk menganggur dan santai berpangku tangan.

MENCINTAI PEKERJAAN
Jika bekerja adalah hakikat hidup, apa yang kemudian kita harus lakukan terhadapnya? ‘Love what you do and do what you love’ pantas menjadi slogan kita dalam menjalani pekerjaan. Hanya cinta yang akan menggerakkan kita untuk menghasilkan yang terbaik dalam pekerjaan. Kasih sebagai dasar terhadap apa yang kita kerjakan jangan pernah digeser oleh niat sekedar mencari sesuap nasi atau bahkan kerakusan untuk menguasai lebih banyak materi.
Kasih di sini juga tidak sedang bermaksud mengedepankan perasaan. Dalam kekristenan, kasih adalah sebuah komitmen. Cinta adalah sebuah keputusan, entah enak atau tidak rasanya. Kedewasaan kita dalam kasih itu kemudian diukur dari tanggung jawab kita terhadap mempertahankan komitmen. Dan dalam konteks ini, seberapa bertanggung jawabkah kita terhadap apa yang kita kerjakan?

MENJADI TERANG DI DUNIA KERJA
Bagi kaum opportunis, pekerjaan adalah kesempatan mengeruk keuntungan semata. Bagi laki-laki kebanyakan, pekerjaan adalah sarana mempertahankan gengsi. Bagi si pemalas, pekerjaan adalah hantu menakutkan. Lalu bagi orang Kristen? Jika panggilan ‘jangan menjadi serupa dengan dunia ini’ dipahami dengan jelas, bekerja adalah sebuah kesempatan emas untuk mengaktualisasikan diri sebagai pelita. Ada tuntutan untuk menghidupi nilai-nilai luhur yang diteladankan Yesus. Jika dunia bekerja dengan culas, kekristenan wajib hadir dengan integritas. Bila dunia mengajarkan tentang bekerja sekenanya, ‘excellent service’lah yang harus dibawa orang percaya. Itu baru namanya berbeda. Dengan cara demikian, terang kita makin berpendar menyingkirkan kegelapan.*** [JP]
HARGA SATU JIWA

Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai menemukannya? (Lukas 15:4)

Beberapa hari setelah ayahnya dikuburkan, seorang pemuda nampak sibuk dengan secarik kertas yang berisi tulisan almarhum ayahnya. Secarik kertas itu rupanya berisi wasiat terakhir. Di kertas itu tertulis, “Maafkan Papa karena belum sempat mengantarmu ke gerbang keberhasilan Nak. Papa hanya bisa meninggalkan sebatang emas yang tersimpan di gudang. Papa berharap emas itu bermanfaat bagi sekolah dan masa depanmu. Papa.”
Bergegas pemuda itu mencari kunci gudang. Ketika dibuka, ternyata gudang itu penuh dengan barang-barang bekas yang tak terpakai. Ban-ban bekas, rongsokan kulkas dan televisi, koran-koran dan majalah yang menggunung. Semuanya berdebu dan dihiasi sarang laba-laba di sana-sini. Hati pemuda itu mulai ciut. “Benarkah wasiat Papa itu? Di manakah emas batangan yang dia janjikan itu? Semuanya hanya barang-barang bekas di sini,” gumamnya dalam hati.
Pemuda itu gamang untuk membereskan barang-barang bekas itu. Meski bekas dan kotor, bukan berarti benda-benda itu tak berharga. Sayang jika harus menjual kulkas dan TV peninggalan Papanya. Majalah dan koran itu juga masih menyimpan segudang informasi. Tapi ketika mengingat emas batangan yang jauh lebih berharga, ia berubah sikap. Sendirian ia bersihkan gudang itu. Ia membongkar tumpukan-tumpukannya hingga menemukan emas batangan yang diwasiatkan Papanya. Dan ia menemukannya.
Begitulah kehidupan kita di hadapan Tuhan. Karena anugrah-Nya, kita ini ibarat emas yang tersimpan di dalam gudang. Untuk menemukannya, diperlukan kerelaan untuk membongkar benda-benda lain yang menimbunnya. Seandainya hanya satu saja orang berdosa di dunia ini –dan orang itu adalah kita– Dia pasti tetap akan mencari dan menyelamatkan kita. [JP]
SEPASANG MATA YANG MENGAWASI

Engkau bukan mendustai manusia, tetapi mendustai Allah.
(Kisah Para Rasul 1:4)

Berbekal ketapel yang terkalung di lehernya, Tono bergegas menuju sawah untuk mengusir burung-burung yang sering memakan padi yang ditanam ayahnya. Di kantong celana kanan dan kirinya telah terisi batu-batu kecil yang akan digunakannya sebagai ‘peluru’ bagi ketapelnya. Hingga menjelang sore, tak satupun burung yang berhasil dibidiknya. Semuanya meleset.
Tiba-tiba melintaslah sekawanan bebek milik tetangganya di atas pematang sawah. Karena kesal, Tono akhirnya mengarahkan bidikan ketapelnya kepada kawanan bebek itu. Siuuutttttt… jeeepppp! Batu kecil itu melesat dan tepat mengenai kepala seekor bebek. Sebenarnya Tono tak bermaksud membunuh, tetapi kepalang basah bebek yang mati itupun dibawanya pulang. “Ah, tak ada yang melihat. Bisa buat lauk nanti malam, lumayan…” pikirnya.
Kisahnya belum berhenti sampai di situ. Keesokan harinya di sekolah, ketika Tono sedang jajan, tiba-tiba Andi menghampirinya. “Ton, traktir dong. Aku lagi ngga punya duit nih,” pinta Andi iba. “Enak aja, bayar sendiri,” jawab Tono. Andi lalu berujar, “Kalau kamu ngga mau nraktir, kulaporkan tentang bebek yang kemarin kau ketapel itu!” Tono terperanjat. Ternyata aksinya diketahui Andi, salah seorang temannya. Sejak saat itu, setiap hari Tono harus mentraktir Andi karena takut dibeberkan rahasianya. Ketidakjujurannya telah membuatnya diperbudak.
Demikian juga dalam kehidupan kita. Kadang-kadang kita merasa ‘aman’ ketika berbuat dosa, seolah-olah tidak ada yang tahu. Kita tak sadar kalau ada ‘sepasang mata’ yang mengawasi kita setiap waktu tanpa terlelap. Sahabat, mari jaga kejujuran kita di manapun Tuhan mempercayakan tanggung jawab kepada kita. [JP]
KESETIAAN SEORANG PENATALAYAN

Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai. (1 Korintus 4:2)

Jika Allah memberikan keluarga yang harmonis, kehidupan yang nyaman, teman-teman yang baik dan bisnis yang lancar; itu semua adalah anugrah yang tak terkira. Dalam kondisi serba kecukupan seperti itu, kesetiaan kemudian diuji. Manusia cenderung –meskipun tidak selalu- melupakan Tuhan jika kondisi kehidupannya baik-baik saja.
Banyak orang mengalami ketika naik sampai di puncak justru kehilangan kendali dan keseimbangan. Siklusnya biasanya diawali dengan kesombongan. Dilanjutkan dengan perselingkuhan atau mengonsumsi obat-obat terlarang. Kemudian keluarga berantakan, jatuh sakit dan terpuruk kembali ke titik paling rendah. Harta hasil bisnis bertahun-tahun bukannya dinikmati, sebaliknya ‘disetorkan’ secara rutin ke rumah sakit. Entah itu untuk menebus obat, perawatan berkala atau cuci darah.
Apa yang kita miliki hanyalah titipan. Kita ingat satu prinsip: Allah adalah Pemilik, kita adalah pengelola. Kita sering tidak bertanggung jawab atas harta kita karena kita merasa sebagi pemiliknya. Kita berpikir bahwa kita bisa membeli segala-galanya. Harta tak akan bisa membeli kesehatan, keharmonisan keluarga dan persahabatan; sebanyak apapun kita mengumpulkannya.
Sahabat, suatu kali kelak kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita buat dengan harta titipan itu. Jika waktu itu tiba, sudah siapkah kita memberikan laporan kepada ‘Tuan Sang Pemilik harta?’ [JP]

Wednesday, March 28, 2007

KEMBALI KE SIKAP HATI

Banyak orang menyebut diri baik hati, tetapi orang yang setia, siapakah menemukannya? Orang benar yang bersih kelakuannya - berbahagialah keturunannya. (Amsal 20:6-7)

Manakah yang lebih ‘rohani’ menurut Anda: menghitung uang di bank atau menghitung uang persembahan di gereja? Membereskan aula RT sesudah rapat selesai atau membereskan ruang gereja seusai ibadah? Memasak untuk pesanan catering atau memasak untuk menyediakan konsumsi kerja bakti di gereja? Silakan mengambil waktu sejenak untuk merenungkannya. Anda sudah mendapat jawaban?
Kita sering menilai spiritualitas berdasarkan tempatnya. Kalau seseorang dan aktivitasnya dikaitkan dengan gereja atau pelayanan, kita langsung memastikan bahwa itu ‘rohani’. Sebaliknya jika tidak ada hubungannya dengan gereja, kita sebut sebagai ‘duniawi – sekuler – jahat’. Apakah memang harus ada pembedaan semacam itu?
Tuhan Yesus mengajar bahwa segala sesuatu berkaitan erat dengan hati. Itulah sumber dari setiap hal yang kita katakan dan lakukan. Berdoa tentu hal yang baik, tetapi jika berdoa kemudian menjadi ajang pamer, masalahnya akan jadi lain. Tuhan Yesus mengecam orang Farisi dan ahli Taurat yang berdoa di pinggir-pinggir jalan. Memberi sedekah juga hal yang baik. Tetapi jika memberi sedekah dipakai sebagai alat untuk menyombongkan diri akan jadi tidak rohani sama sekali. Sebaliknya jika kita menghitung uang di bank dengan jujur, membereskan aula RT dengan tidak bersungut-sungut dan memasak yang paling enak sesuai dengan pesanan pelanggan, Tuhan dipermuliakan melaluinya.
Rohani tidaknya apa yang kita lakukan tidak ditentukan oleh tempatnya. Yang paling baik untuk menguji semuanya adalah dikembalikan kepada hati nurani masing-masing. [JP]
ALLAH YANG TURUN TANGAN

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinganmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. (Filipi 4:6)

Sepeninggal suaminya, Sontiar Manurung diliputi duka dan kecewa. Bagaimana tidak? Sementara tidak ada warisan yang ditinggalkan suaminya, ia harus membesarkan dan membiayai hidup keempat orang anaknya. “Bingung, ada sedikit putus asa dan tidak tahu bagaimana lagi,” ujarnya. Kesedihan bertambah ketika harus terusir dari rumah kontrakkannya. Ia sudah memohon kepada si pemilik rumah, tetapi hasilnya nihil.
Hidup harus tetap dijalani dan dihadapi. Dengan tekad menyekolahkan anak-anak setinggi mungkin, ia kemudian menjadi pedagang buah di bilangan Cililitan, Jakarta. Dengan berjualan buah, meski sering menghadapi usiran petugas tramtib, ternyata cukup untuk menyambung hidup. Pelan namun pasti, jalan hidupnya mulai berubah. Ia terus berdoa dan melibatkan Allah dalam pekerjaannya itu. Akhirnya rumah pun berhasil didapatkan. Putra-putrinya diantarnya menjadi sarjana. Semuanya adalah hasil dari ketekunan, kerja keras dan tentu saja penyerahannya kepada Tuhan.
Kita tentu sering mendengar ungkapan pengkhotbah, “Jika kita turun tangan, maka Allah angkat tangan. Tetapi jika kita angkat tangan, Allah turun tangan.” Maknanya jelas, bahwa kita harus melibatkan Allah dalam setiap perkara yang kita alami. Usaha dan perjuangan tanpa penyertaan-Nya tidak akan menghasilkan buah yang berarti. Tidak jarang bahkan kita tidak mendapatkan hasil sama sekali.
Sahabat, dalam setiap profesi yang Anda jalani sekarang, libatkanlah Allah. Ia mampu memberikan arahan jitu dan pertolongan sempurna atas apa yang harus kita lakukan. [JP]