Thursday, November 29, 2007

MEDAN PERANG YANG SEBENARNYA

Pikirkanlah perkara yang di atas, bukan yang di bumi. (Filipi 3:2)

Anthony de Mello menuliskan kisah klasik tentang telur rajawali yang dierami induk ayam. Akhirnya telur itu menetas, dan jadilah anak rajawali itu anggota komunitas ayam. Karena dia berpikir bahwa dirinya ayam, ia berperilaku layaknya ayam. Meskipun jelas bahwa struktur fisiknya berbeda, tetap saja ia merasa bahwa dirinya ayam. Mengais tanah dengan cakarnya untuk mencari makan. Berciap-ciap layaknya anak-anak ayam yang lain. Demikianlah ia bertumbuh dalam ‘keyakinan diri’ sebagai ayam.

Hingga suatu kali ia bertemu dengan anak rajawali yang lain yang sedang belajar terbang. “Hai, apa yang sedang kamu lakukan?” tanyanya. “Oh, sebagai anak rajawali aku sedang belajar terbang. Bagaimana dengan engkau kawan, apakah engkau sudah bisa terbang?” timpalnya. “Terbang?? Aku adalah ayam. Kehidupan kami di darat, jadi tidak perlu terbang dan memang aku tidak bisa terbang” jawabnya mantap. Sontak sesamanya itu terkekeh karena jawaban itu. Ia kemudian berusaha meyakinkan anak rajawali itu tentang posisinya sebenarnya. Ia berusaha keras dan kemudian berhasil mengajaknya untuk sama-sama belajar terbang. Ia mengubah pola pikir anak rajawali yang merasa ayam itu.

Cerita itu bertutur tentang pikiran sebagai medan perang yang sebenarnya. Kemenangan atau kekalahan terletak dalam wilayah ini. Tidak jarang orang Kristen ‘bermasalah’ dalam bidang ini. Mereka sering berpikir tentang kekalahan, kegagalan dan hal-hal negatif yang lain. Karena itu kedamaian pikiran tidak pernah dialami. Mulai hari ini, mari kita taklukkan pikiran agar kita tidak kalah sebelum bertanding menghadapi banyaknya tantangan di depan kita. [JP]
BUKU BUTUT PAK RIS

Sesudah dia bangkitlah Samgar bin Anat; ia menewaskan orang Filistin dengan tongkat penghalau lembu, enam ratus orang banyaknya. (Hakim-hakim 3:31)

Pak Ris adalah guru Bahasa Jerman semasa saya SMA. Seperti kebanyakan guru lainnya, sosoknya sederhana dan bersahaja. Ia juga dikenal sebagai guru yang tegas dan berdisiplin tinggi. Karakter itu pulalah yang berusaha ditransferkannya ke setiap murid dalam berbagai kesempatan, di dalam maupun di luar kelas.

Saya teringat dengan kisah buku bututnya. Apa yang menarik? Setiap berdiri di depan kelas, ia tak pernah meninggalkan buku pelajaran Bahasa Jerman yang telah usang. Boleh dikata, buku itu adalah ‘jimat’nya. Warnanya sudah lusuh, covernya pun sudah tak ada lagi. Hanya halaman-halamannya yang masih utuh, itupun dengan robekan kecil di sana-sini. Pak Ris mengisahkan bahwa buku itulah yang berjasa mengantarkannya sebagai sarjana. Buku itu juga yang membuatnya fasih berbahasa Jerman dan menjadikannya pemandu wisata di waktu senggangnya. Bahkan, buku itu juga yang membawanya terbang berkali-kali untuk berkunjung ke negeri Adolf Hitler itu.

Makanya ia getol untuk menanamkan kecintaan terhadap buku kepada kami murid-muridnya. “Karena Bapak berhasil melalui buku ini, Bapak ingin agar kalian juga mengalami keberhasilan karena mencintai buku,” begitu ia berpetuah.

Keterbatasan tidak menghalangi Pak Ris untuk bisa hidup di atas rata-rata. Sebaliknya, ia malah menggunakan keterbatasan itu untuk kehidupan yang lebih berarti. Karena itu Sahabat NK, inilah waktunya berhenti memberi alasan tidak memberi yang terbaik karena berbagai keterbatasan yang kita miliki. Buktinya, dengan buku bututnya Pak Ris bisa… [JP]
HIKMAH DI BALIK MUSIBAH

Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah mereka-rekakannya untuk kebaikan,… (Kejadian 50:20)

Seorang pemuda merasa sangat bahagia lantaran keinginannya akan segera terkabul. Sebentar lagi ia akan tergabung dengan ratusan pemuda yang lain untuk membela negara dengan mengikuti wajib militer. Setiap hari dia berolah fisik untuk mempersiapkannya. Dengan disiplin tinggi ia menjalani latihan-latihan ditunjang dengan perubahan pola makan. Sebutir telur dan segelas susu di pagi hari dan menu makanan sehat di siang dan malam hari.

Suatu kali ketika sedang jogging di jalan raya, ia mengalami kecelakaan. Ia menjadi korban tabrak lari dari sebuah mobil yang dikemudikan sopir ugal-ugalan. Luka-lukanya tergolong parah dan ia harus menginap di rumah sakit beberapa hari. Terdapat patah tulang yang serius di kaki kanan dan tangan kirinya. Betapa ia menyesal dengan nasibnya itu. Bahkan berkali-kali ia menyalahkan Tuhan. “Mengapa kesempatan untuk membela bangsa Kauambil dariku dengan kecelakaan ini, ya Tuhan?” serunya. Dan ia terus mengisi hari-harinya dengan ratap dan sumpah-serapah.

Hari berganti, bulan berlalu. Rekan seangkatan pemuda itu yang sudah masuk wajib militer dijadwalkan berlatih terjun payung. Naas, pesawat yang mereka tumpangi mengalami masalah dan akhirnya jatuh di sebuah lembah. Awak pesawat dan seluruh penumpangnya tewas. Berita tentang keceleakaan itu segera tersebar ke seantero negeri. Dan pemuda yang kaki dan lengannya masih terbalut gip itu mendengar kabar tersebut. Lalu ia mulai mengubah sungutannya dengan ucapan syukur. Jika saja ia jadi ikut wajib militer, mungkin nasibnya akan sama dengan rekan-rekannya yang celaka itu.

Tuhan acap mengijinkan sesuatu terjadi di dalam hidup umat-Nya. Terkadang tidak semuanya bisa dipahami seketika dan memerlukan proses seperti kisah di atas. Yang diperlukan adalah keyakinan bahwa Tuhan tidak mencelakai kita dan pasti merencanakan segala yang baik. [JP]

Monday, November 19, 2007

DARI HYPER SQUARE KE BANJARBARU

Ini pengalaman pertama naik 'burung besi' sesudah tiga puluh tahun lebih hidup di dunia (halah..). Pengalaman ini menjadi istimewa karena pertemuan dengan beberapa mahasiswa yang pernah kuajar di Banjarbaru, Kalsel. Ada Wiwitro yang kini jadi dosen di sebuah STT. Hebat juga kau Wit... Lalu ketemu dengan Daud Tua Pattinaya (semoga tidak salah tulis nama) yang kini jadi Pol PP di kantor walikota Banjarbaru. Awalnya sempat kuciwa karena kayaknya ga ada hubungan antara sekolah teologi dengan Pol PP. Tapi mendengarnya menjadi ketua pemuda di gereja membawa kelegaan tersendiri. Bertemu Livingstone selalu menyegarkan. Batu hidup yang kecil itu memang masih kocak, sama seperti ketika ngabodor di kelas atau asrama. Terima kasih karena menemaniku tidur beberapa malam. Living bercerita tentang mantan-mantan murid yang pernah kuajar, yang kini tersebar di ladang pelayanan belantara Borneo. Sungguh membanggakan.

Seminggu sebelumnya, ada wisudaan di Hyper Square. Duduk di meja hijau menyaksikan 40 lebih wisudawan/wati membuatku tak kuasa menahan tangis. Sebait doa kunaikkan untuk mereka yang sudah lulus. Selamat berjuang dan melayani. Setidaknya aku sudah menginvestasikan sesuatu dalam hidup kalian. See you all at the top!

Sunday, November 18, 2007

MENYERET DAN MEMIKAT

Yakobus 1:14 Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya.

“Ayo ikut lomba mancing!” ajak teman saya suatu ketika. Sebenarnya saya tidak hobby memancing. Tetapi karena ajakan teman saya itu bertepatan dengan hari libur, akhirnya saya berangkat menenaminya. Peristiwanya sudah lebih dari sepuluh tahun lalu. Kala itu, lomba diadakan untuk memeringati 50 tahun Indonesia merdeka. Seekor Gurame sebesar bantal bayi diperebutkan puluhan peserta. Siapa yang berhasil mendapatkannya akan dinobatkan sebagai juara.

Pemenangnya adalah seorang bapak yang menggunakan umpan yang lain daripada yang lain. Jika orang lain menggunakan cacing atau pelet, ia menggunakan donat sebagai pemikat ikan yang akan dipancingnya. Dan ia berhasil. Waktu bertanya di dalam hati mengapa akhirnya ia memenangi lomba itu, imajinasi saya mulai berjalan.

Saya membayangkan gurame itu sedang berenang kian-kemari di bawah permukaan kolam. Tiba-tiba perhatiannya tertuju kepada benda-benda yang masuk ke dalam kolam. Ia mulai mendekati salah satunya. “Ehmmm… cacing. Ah, kemarin teman yang lain mendadak hilang ketika mencaploknya,” katanya dalam hati. Ia memutuskan untuk meninggalkannya. Hal yang sama ia lakukan ketika mengampiri pelet. Tetapi ia mulai terseret dan terpikat ketika yang dijumpainya adalah donat. Ia lalu mencoba mencaploknya dan hasil akhirnya bisa ditebak: ia terperangkap.

Iblis juga jago dalam hal jebak-menjebak begini. Ia tahu persis di mana letak kelemahan kita, lalu mengolahnya menjadi bahan yang setiap saat dilontarkan untuk menyeret dan memikat kita. Yang perlu kita lakukan adalah untuk sadar dan berjaga senantiasa menghadapi segala kemungkinan jebakan. Waspadalah… Waspadalah… (JP)
MUNDUR DUA LANGKAH, MAJU TIGA LANGKAH

Markus 6:31 “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahat seketika!”

Rutinitas yang dikerjakan setiap hari dapat menimbulkan kebosanan. Jika tidak disiasati, kondisi ini biasanya berpengaruh terhadap kinerja seseorang. Produktivitas kemudian menurun, dan pada tingkat tertentu, kebosanan bisa mendatangkan stress. Solusinya?

Ada kalanya ‘mundur’ adalah sebuah pilihan. Dalam istilah yang lain, kita membutuhkan retreat. Dari satu sisi, mungkin retreat adalah sebuah langkah mundur. Kesibukan pekerjaan ditinggalkan, urusan-urusan kantor dilupakan (sejenak) dan otak sebagai ‘mesin berpikir’ didinginkan untuk sementara waktu.

Retreat tentu tidak harus selalu dipahami sebagai sebuah kegiatan menyewa sebuah villa di dataran tinggi tertentu, dikoordinir sejumlah panitia dan menghadirkan pembicara tertentu sesuai jadwal yang tersusun. Jika begini, jangan-jangan retreat juga sudah menjadi rutinitas? Mengundurkan diri sejenak bahkan dapat dilakukan di tempat kita bekerja. Sekedar melakukan relaksasi di tempat duduk, melihat lalu-lintas dari ketinggian jendela kantor, memutar musik kegemaran atau melanjutkan games di ponsel pada level berikutnya.

Orang mungkin menilainya sebagai dua langkah kemunduran. Tetapi kekuatan baru yang didapat sesudahnya justru akan membuatnya menjadi maju tiga langkah. Kalau retreat adalah sebuah kebutuhan, mengapa Anda tidak memilihnya kini? (JP)
KEKUATAN UNTUK BERTAHAN

Yakobus 1:12 Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.

Ada mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah bagi setiap orang yang bertahan dalam pencobaan. Kata ‘bertahan’ berasal dari istilah ‘hupomone’ yang menggambarkan sebuah ketenangan di tengah situasi yang kacau balau. Bisa juga berarti kemampuan memikul beban hingga titik atau tujuan tertentu. Dari pemahaman itu, setidaknya kita bisa merenungkan beberapa hal dalam menghadapi pencobaan;

Pertama, ketenangan. Kepanikan mungkin adalah respon yang wajar sesaat setelah pencobaan kita alami. Tetapi membiarkannya menguasai kita dalam kondisi seperti itu jelas tidak menguntungkan. Kejernihan berpikir untuk mencari jalan keluar atau berdiam diri mendengar solusi dari Tuhan, bisa jadi akan jauh dari kenyataan. Secara negatif, tidak menutup kemungkinan juga kita akhirnya mengambil sebuah keputusan yang salah. Bagaimana kita bisa menghadapi dan mengalahkan pencobaan jika begitu?

Kedua, ketekunan. Berbeda dengan bermain sulap, menghadapi pencobaan adalah melewati realitas hidup. Untuk menyelesaikannya tidak bisa hanya dengan menggunakan rumus simsalabim abrakadabra! Dibutuhkan ketekunan dan keuletan seperti seseorang yang sedang memikul beban sampai tujuan tertentu. Di sanalah kemudian beban itu diletakkan. Artinya, memang ada waktu yang harus dilalui.

Ketiga, harapan. Tidak selamanya pencobaan itu akan menjadi pergumulan kita. Pasti ada saat untuk berhenti dan kita selesaikan. Malah Tuhan sendiri menjanjikan mahkota kehidupan sebagai hasil akhirnya. Dan harapan itulah yang turut menyuntikkan kekuatan baru bagi kita. (JP)
BATU SANDUNGAN

Matius 5:16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.

Konon, minuman energi paling laris terjual di kompleks pelacuran dan klub-klub malam. Karena itu Dadang (sebut saja begitu) aktif mengunjungi tempat-tempat itu. Tentu bukan untuk melakukan hal-hal yang tidak senonoh, tetapi profesinya sebagai sales minuman energi mengharuskannya bertindak demikian. Saking seringnya Dadang mengunjungi lokalisasi dan tempat hiburan malam itu, ia sampai hafal dengan para pengunjungnya. Beberapa bahkan telah dikenalnya.

Di sisi lain, Dadang adalah seorang di ‘persimpangan jalan’ dan sedang mempertimbangkan untuk memeluk Kristen. Ia rajin mempelajari kekristenan dari buku-buku dan kaset khotbah, meskipun belum memberanikan diri berkunjung ke gereja. Sampai suatu kali ia memutuskan untuk pergi ke gereja di suatu hari Minggu karena keyakinan imannya yang semakin menebal.

Tetapi kenyataan berbicara lain dan malah terjadi antiklimaks. Ia malah kemudian memutuskan untuk urung menjadi pengikut Kristus. Pasalnya, orang-orang yang dijumpai dan dikenalnya di lokalisasi itu, adalah orang-orang yang sama yang ditemuinya di gereja. Astaga!

Sayang sekali… Karena tersandung dengan perbuatan orang-orang Kristen yang tidak berubah itu, satu jiwa terhilang. Kisah di atas tentu menjadi warning bagi kita semua agar dalam setiap segi hidup selalu memancarkan terang Kristus. Dengan begitu tidak ada orang yang tersandung ketika melihat kehidupan kita, sebaliknya mereka malah terberkati. [JP]