Monday, June 28, 2010



SEPERTI SPONS ATAU BATU?


Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.” (Yohanes 15:7)

Cobalah melakukan sebuah percobaan kecil-kecilan. Ambil seember air, siapkan juga sebongkah batu hitam dan spons yang biasa dipakai untuk mencuci piring. Masukkan batu terlebih dahulu ke dalam ember, lalu dalam beberapa waktu kemudian angkatlah lagi batu itu. Sesudah itu giliran spons yang dibenamkan ke dalam air, dan sama seperti batu, beberapa saat kemudian juga diangkat.


Ada persamaan yang terdapat pada kedua benda tersebut: kedua-duanya sama-sama basah sesudah dibenamkan ke dalam air di ember. Tetapi juga ada perbedaan mencolok; batu itu tidak benar-benar basah. Sebentar saja airnya menguap. Tetapi spons itu diresapi air sedemikian rupa, sehingga ketika benda itu diperas, airnya bisa keluar dari dalamnya.
 Pesan apa yang hendak saya sampaikan dari percobaan di atas? Kisah itu adalah gambaran sederhana dari pesan Yesus Kristus tentang bagaimana “tinggal di dalam firman-Nya” dan “firman-Nya tinggal di dalam kita.” Firman-Nya dapat kita ibaratkan sebagai seember air, tetapi respon kita terhadap firman bisa saja seperti batu atau spons. Kita sudah “tinggal di dalam firman-Nya” tetapi masalah “firman-Nya tinggal di dalam kita” atau tidak, tergantung pada kemauan kita.

Jika kita bersikap seperti batu, maka firman-Nya hanya “mampir” sebentar dalam kehidupan kita, lalu kita melupakannya. Kita seperti baru saja mendengar sebuah khotbah yang bagus, tetapi tidak berarti apa-apa karena kita segera melupakannya. Yang Allah kehendaki adalah respon spons. Ia menyerap firman sampai ke dalam, bukan sekedar di permukaan. Jadi, respon seperti batu atau spons yang terjadi dalam hidup Anda? [JP]

Thursday, June 24, 2010

BATU PERINGATAN

Apa yang Anda rasakan ketika suatu saat berkesempatan untuk mendatangi tempat-tempat yang memiliki hubungan emosional dengan Anda? Biasanya kenangan-kenangan masa lalu silih berganti datang memenuhi benak kita.

Suatu kali saya pulang ke kampung tempat kelahiran saya. Memang suasananya telah banyak berubah. Jalan yang dulu becek ketika hujan turun, kini telah dicor dengan beton. Lahan persawahan tempat saya dulu bermain layang-layang, semakin menyempit karena berdirinya rumah-rumah baru. Rimbun pepohonan yang dulu membuat teduh kampung telah berganti dengan tiang-tiang listrik. Tetapi itu semua tidak menghapus kenangan saya tentang masa kecil. Ada ribuan kisah yang akan saya ceritakan kepada anak-cucu saya kelak.

Dalam nats Yosua 4:1-9, kita menemukan bahwa Tuhan memerintahkan Yosua untuk memilih dua belas orang dari masing-masing suku Israel. Tugasnya bukan untuk berperang, tetapi untuk mengangkat masing-masing sebuah batu dari sungai Yordan. Sudah kurang kerjaankah Yosua? Sama sekali bukan. Batu-batu itu akan dipergunakan untuk sebuah tujuan mulia pada masa mendatang. Batu-batu itu adalah sebuah tanda dan peringatan bagi orang Israel selama-lamanya (ay. 6-7).

Yosua ingin mewariskan sejarah, sesuai dengan perintah Tuhan, kepada generasi yang hidup sesudahnya kelak. Senada dengan hal ini, Bung Karno pernah berkata. “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” Jargon itu sering disingkat Jas Merah. Tidak ada yang berlebihan di sini. Kita tentu paham bahwa yang namanya sejarah telah membawa banyak pelajaran bagi kita. Yosua ingin agar melalui batu peringatan itu bangsa Israel diingatkan kembali mengenai perjanjian dan berkat Tuhan atas bangsanya.

Sejarah itu penting, tidak peduli manis atau kelam. Segala sesuatu yang baik dari sejarah kita pakai sekarang sebagai teladan. Yang buruk menjadi pelajaran bagi kita juga agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Itulah sebabnya mungkin Anda perlu mengambil waktu untuk melakukan ‘ziarah’ ke tempat-tempat yang berkesan bagi Anda. Mungkin itu rumah di kampung halaman Anda tempat di mana Anda dibesarkan orang tua. Mungkin juga itu gereja Anda pada masa kecil; tempat Anda dibesarkan dan mengambil keputusan untuk menjadi murid Kristus. Atau bahkan tempat-tempat di mana anda pernah gagal. Di sana Anda bisa memperbaharui tekad dan komitmen baru untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti yang telah Anda lakukan dahulu. Selamat berziarah!
***

Tuesday, June 08, 2010

MOTIVASI JOHN STEPHEN AKWARI

“Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.” (Ibrani 12:1)

Kehormatan menjadi seorang utusan negara, telah menggerakkan John Stephen Akwari untuk berlari, berlari dan terus berlari. Akwari adalah atlit lari Marathon yang diutus Tanzania dalam gelaran Olimpiade musim panas di Mexico pada tahun 1968.

Dalam sebuah nomor lari marathon, ia harus berkompetisi dengan 74 pelari yang lain yang berasal dari berbagai negara. Sebuah pertandingan lari yang berat baginya, bukan saja karena lawan-lawannya, tetapi juga karena ia mengalami ‘kecelakaan’ dalam lomba itu. Ia terjatuh dan mengalami luka pada lutut dan betis kanannya. Tetapi cederanya itu tidak membuatnya berhenti. Meski sudah tidak mungkin ikut dalam persaingan dan menjadi juara, Akwari segera membebat lukanya dengan perban dan kemudian mencoba melanjutkan langkah menuju garis finish.

Stadion tempat berlangsungnya perlombaan berangsur sepi. Pemenang lomba telah dikalungi medali. Tempat duduk stadion sudah hampir kosong, tinggal beberapa tempat yang masih terisi. Orang-orang yang belum beranjak itu ternyata menunggu kehadiran pelari terakhir yang akan memasuki finish. Dan pelari itu adalah John Akwari. Akhirnya, meski terseok, Akwari berhasil juga melampaui garis akhir.

Ketika ditanya wartawan mengapa ia melakukan itu semua, ia menjawab, “My country send me 5,000 miles not just to start the race. They sent me 5,000 miles to finish the race!Ia tidak diutus negeri Tanzania hanya untuk memulai sebuah pertandingan, tetapi ia dikirim jauh-jauh untuk menyelesaikan sebuah kompetisi. Fokus hidupnya adalah untuk mengakhiri pertandingan dengan baik. Sudahkah semangat itu menjadi bagian kehidupan kita? [JP]

BUKAN MASALAH BAGAIMANA MEMULAI, TETAPI BAGAIMANA MENGAKHIRINYA

PERCAKAPAN DUA RAHIB

"Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah." (Matius 5:8)

Dua orang rahib terlibat dalam pembicaraan serius di sepanjang perjalanan pulang ke biara. Tiba-tiba mereka bertemu dengan seorang perempuan cantik yang hendak meminta pertolongan untuk menyeberang sungai. Salah seorang rahib kemudian menggendong perempuan sambil menyeberang sungai. Seorang rahib yang lain menyeberang sambil bergumam di dalam hati, “Mengapa ia menyentuh perempuan itu? Apakah tidak berpengaruh terhadap kekudusan?”

Lalu ia memberanikan diri menegur rekannya di depan gerbang biara, “Tidak tahukan kamu bahwa kita ini rahib? Bahwa kita tidak boleh menyentuh seorang perempuan? Mengapa kamu melakukan semua itu?” “Kawan, aku sudah meninggalkan perempuan itu di pinggir kali tadi. Kenapa engkau masih membawanya (dalam pikiranmu)?”

Rahib yang menggendong perempuan itu melakukannya dengan motivasi menolong dan tidak terganggu hati nuraninya. Sementara rahib yang lain memandang bahwa kekudusan seseorang dapat terpengaruh oleh ‘aturan-aturan’ lahiriah.

Sahabat, salah satu gaya hidup yang ditekankan di dalam Kerajaan Allah adalah gaya hidup kekudusan. Yesus, Sang Mesias, mewanti-wanti agar kita sebagai warga Kerajaan dengan serius memerhatikan masalah ini. Kekudusan yang bukan dilakukan dengan tekanan legalitas atau karena aturan-aturan, tetapi kekudusan sebagai sebuah persembahan yang didasari kasih kepada Sang Raja. Kekudusan yang legalistik akan membebani kita, tetapi jika kita mengasihi Kristus, kekudusan bukanlah hal yang sulit. Bagaimana dengan motivasi Anda? [JP]

KASIH KEPADA ALLAH MELAHIRKAN KEKUDUSAN HIDUP

DENDA GUARDIOLA

“Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi.” (I Korintus 9:25)

Tahun 2009 menjadi milik Barcelona! Klub sepak bola Catalan berkostum merah-biru itu menorehkan enam gelar juara dalam semusim. Keenam gelar juara itu adalah: Copa Del Rey, Liga Champion, Liga Spanyol, Piala Super Spanyol, Piala Super Eropa dan terakhir Piala Dunia Antarklub. Apa rahasia tim besutan Pep Guardiola ini? Ternyata karena disiplin tinggi yang diterapkan sang pelatih dengan menggunakan sistem denda.

Denda ini rupanya mampu membuat semua pemain Barca memandang keterlambatan sebagai sebuah kerugian. Dalam aturan klub, diterapkan bahwa semua pemain harus hadir di sesi latihan satu jam sebelumnya. Pemain yang terlambat akan dikenakan denda sebesar 6.000 euro. Jika 1€=Rp 13.000,- maka setiap kali telat berlatih, seorang pemain akan membayar denda sekitar Rp 78.000.000,-

Tak hanya itu, pemain yang ketahuan kelayapan di malam hari juga akan dikenakan denda 2.000 euro (sekitar Rp 26.000.000,-). Guardiola juga akan mendenda pemain sebesar 500 euro (Rp 6.500.00) jika terlambat saat makan pagi. Uniknya, denda ini dapat naik jika memang semua pemain menyetujuinya. Semua uang yang terkumpul dari sistem denda ini akan digunakan untuk makan malam tim dan disumbangkan bagi komunitas lokal Barcelona.

Kemenangan tidak jatuh dari langit, tetapi merupakan hasil dari usaha keras dalam sebuah latihan yang berdisiplin tinggi. Squad Barca menyadari betul bahwa ketidakdisiplinan seseorang adalah kerugian bagi tim. Saya percaya bahwa hal inipun berlaku dalam kehidupan spiritual kita. Jika ingin mendapatkan kemenangan, bekalilah diri dengan disiplin tinggi melalui doa dan hubungan yang lebih erat dengan Kristus. Niscaya kemenangan menjadi bagian kita. [JP]

KEMENANGAN TIDAK JATUH DARI LANGIT TETAPI DIDAPAT DARI DISIPLIN TINGGI

Friday, June 04, 2010

MENYATUKAN PERSEPSI

“Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan.” (Kolose 3:14)

Suatu ketika terjadi percakapan antara pembeli (orang Batak) dengan penjual es cendol (orang Jawa).

Pembeli: Mas, beli es cendolnya satu ya...

Penjual: Nyuwun pangapunten, sampun telas (Mohon maaf, sudah habis).

Pembeli: Tidak masalah, tidak usah pakai gelas.

Penjual: Sampun boten wonten (Sudah tidak ada).

Pembeli: Ya sudah, tidak usah pakai santen kalau begitu...

Penjual: Maaf Pak, es cendolnya sudah habis!

Pembeli: Ngomong kek dari tadi....

Penjual:????

Percakapan “ga nyambung” dua orang berbeda etnis dan bahasa itu terjadi karena perbedaan persepsi. Mereka masing-masing menggunakan sudut pandang berbeda yang tidak akan ketemu jika dipaksakan untuk dilanjutkan. Baru setelah dijembatani dengan bahasa Indonesia, komunikasi menjadi jauh lebih lancar.

Betapa seringnya perbedaan persepsi ini telah mengakibatkan miskomunikasi, termasuk juga dalam kehidupan keluarga. Maksud hati menyampaikan hal-hal yang baik, tetapi apa daya tujuannya menjadi tidak tercapai. Suami berbeda pandangan dengan isteri. Anak-anak merasa bahwa bahasa yang digunakan orang tuanya sudah ketinggalan zaman.

Karena itu Sahabat, sebelum lebih jauh kita mengkomunikasikan sesuatu kepada anggota keluarga yang lain, lebih baik jika kita menyatukan persepsi terlebih dahulu. Cara ini akan meminimalisir sikap ngotot dan memaksakan kehendak. Carilah sebanyak mungkin jembatan komunikasi yang dapat digunakan agar keutuhan keluarga dapat dijaga. [JP]

BERBURU SUSU

“…tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” (Efesus 4:15)

Demi memenuhi kebutuhan susu formula anak kami yang terlahir prematur, apapun rela kami lakukan. Susu merk tertentu yang dianjurkan dokter waktu itu ternyata susah didapatkan di pasaran. Di supermarket besar persediaan menipis, tinggal tersisa beberapa kaleng. “Ini tiga kaleng yang terakhir Bu. Kami mendapat informasi dari supplier bahwa beberapa bulan ke depan akan susah barangnya,” ujar pramuniaga kepada istri saya.

Ketiga persediaan susu untuk anak di rumah mulai habis, kamipun mencoba berburu susu di supermarket-supermarket kecil. Bahkan sampai ke toko-toko di kota-kota kecamatan pun kami coba tanyakan, barangkali menjual susu formula yang kami maksud. Setelah berkeliling dengan sepeda motor, tak terlalu menggembirakan hasilnya. Hanya beberapa kaleng yang berhasil didapat. Kami juga mencoba menghubungi kenalan orang tua kami yang kebetulan bekerja di pabrik yang memproduksi susu itu. Juga mengirim pesan pendek kepada rekan-rekan yang tinggal di kota lain agar membelikan ‘makanan pokok’ bagi bayi kami. Semua kami usahakan untuk satu hal: pertumbuhan anak kami. Saya rasa, itulah kerinduan semua orang tua, kerinduan akan pertumbuhan anak-anaknya.

Bapa Sorgawi pun menghendaki agar anak-anak-Nya berada pada jalur pertumbuhan. Ia tidak menginginkan adanya ‘bonsai rohani’. Itulah sebabnya berbagai sarana disediakan dan dicukupi-Nya agar anak-anak-Nya terus bergerak ke arah kedewasaan. Salah satunya, Ia memberikan Roh Kudus-Nya di dalam diri kita agar firman Tuhan yang telah kita dengar, terus diingatkan-Nya. Ia terus menyuplai firman-Nya sebagai kebutuhan pokok kerohanian kita. Mari responi kerinduan Roh Kudus untuk mendewasakan kita. [JP]

SEPERTI SPONS ATAU BATU?

“Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya.” (Yohanes 15:7)

Cobalah melakukan sebuah percobaan kecil-kecilan. Ambil seember air, siapkan juga sebongkah batu hitam dan spons yang biasa dipakai untuk mencuci piring. Masukkan batu terlebih dahulu ke dalam ember, lalu dalam beberapa waktu kemudian angkatlah lagi batu itu. Sesudah itu giliran spons yang dibenamkan ke dalam air, dan sama seperti batu, beberapa saat kemudian juga diangkat.

Ada persamaan yang terdapat pada kedua benda tersebut: kedua-duanya sama-sama basah sesudah dibenamkan ke dalam air di ember. Tetapi juga ada perbedaan mencolok; batu itu tidak benar-benar basah. Sebentar saja airnya menguap. Tetapi spons itu diresapi air sedemikian rupa, sehingga ketika benda itu diperas, airnya bisa keluar dari dalamnya.

Pesan apa yang hendak saya sampaikan dari percobaan di atas? Kisah itu adalah gambaran sederhana dari pesan Yesus Kristus tentang bagaimana “tinggal di dalam firman-Nya” dan “firman-Nya tinggal di dalam kita.” Firman-Nya dapat kita ibaratkan sebagai seember air, tetapi respon kita terhadap firman bisa saja seperti batu atau spons. Kita sudah “tinggal di dalam firman-Nya” tetapi masalah “firman-Nya tinggal di dalam kita” atau tidak, tergantung pada kemauan kita.

Jika kita bersikap seperti batu, maka firman-Nya hanya “mampir” sebentar dalam kehidupan kita, lalu kita melupakannya. Kita seperti baru saja mendengar sebuah khotbah yang bagus, tetapi tidak berarti apa-apa karena kita segera melupakannya. Yang Allah kehendaki adalah respon spons. Ia menyerap firman sampai ke dalam, bukan sekedar di permukaan. Jadi, respon seperti batu atau spons yang terjadi dalam hidup Anda? [JP]

MAMI VINOLIA

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” (1 Korintus 10:13)

Kesulitan dan kerasnya hidup biasanya melahirkan dua hal: orang-orang kalah dan orang-orang yang bertahan sampai menang. Mami Vinolia alias Mami Vin (terlahir sebagai Wakijo) harus berjuang dengan kerasnya hidup di jalanan sebagai waria. Ia berusaha gigih untuk keluar dari dunia malam yang selama ini telah ‘menghidupinya’. Dunia yang memberinya berbagai macam pengalaman yang bergesekan dengan kekerasan dan tentu saja pelecehan.

Tetapi Vin bukan tipe orang yang mudah menyerah begitu saja. Ia memilih untuk memperbaiki kehidupan gelapnya dengan memulai babak baru, meskipun tidak sama sekali ‘baru’ karena masih tetap bersinggungan dengan pergumulan kehidupan jalanan. Genderang perang yang pertama ditabuhnya adalah untuk melawan HIV/AIDS, penyakit yang akrab dengan kehidupan waria.

Untuk mewujudkan cita-cita luhurnya mengangkat harkat dan martabat kaum wadam [Hawa-Adam] itu, Vin kemudian mendirikan LSM KEBAYA (Keluarga Besar Waria Yogyakarta). Organisasi ini mewadahi para waria dan memperlengkapi mereka dengan ketrampilan praktis sebagai bekal hidup. Ia juga menyewa rumah sendiri untuk menampung anak-anak jalanan yang haus kasih sayang. "Mereka yang lagi stres, kecewa, hingga patah hati, juga kerap mendatangi Mami untuk curhat. Saya ini ya seperti simbok. Sering tombok. Tombok uang, ati, pikiran, dan tenaga. Hahaha.. Tapi ngak apa-apa. Mami ada 24 jam untuk mereka," ucapnya.

Sahabat, hari kita belajar tentang kegigihan sebuah perjuangan. Kehidupan waria, seperti yang diakui sendiri oleh Vin, adalah kehidupan yang sulit berubah. Mereka terbiasa dalam pola hidup santai. Malam ngeluyur, siangnya tidur. Itu saja. Tetapi vin telah membuktikan bahwa kesulitan itu bukan halangan baginya. Karenanya kita harus belajar dari Mas Wakijo, eh… Mami Vin, untuk melihat kerasnya hidup sebagai kesempatan bertahan dan bertumbuh. [JP]

ALLAH TELAH MATI, FACEBOOKLAH PEMBUNUHNYA!

“Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong; wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi.” (Mazmur 34:16-17)

Sabar... Tenang... Jangan terprofokasi dulu. Judul itu hanyalah ungkapan satire seorang pengkhotbah yang menyatakan kekesalannya karena melihat kebiasaan orang Kristen beribadah akhir-akhir ini. Karena bosan dengan khotbah atau suasana ibadah, orang pergi kebaktian hanya untuk memenuhi kebutuhan formalitasnya sebagai orang Kristen. Maka lihatlah, mereka kemudian tertidur, bisik-bisik dengan jemaat di samping atau sibuk meng-update status facebook melalui HP.

Karena melihat banyak orang sibuk memainkan HP sementara ia berkhotbah, pendeta itu lantas berteriak lantang, “Allah telah mati, Facebooklah pembunuhnya!” Kontan saja jemaat yang sedang bermain HP langsung terperanjat dan buru-buru mengantongi telepon selulernya.

Tidak semua orang yang sementara beribadah dan mengoperasikan HP, selalu membuka Facebook atau Twitter. Bisa saja mereka sedang membuka Alkitab yang terinstall di dalamnya. Bisa juga mereka sedang mencatat khotbah melalui fasilitas MemoPad. Tidak jarang juga mereka mungkin sengaja merekam khotbah dengan HP.

Ibadah komunal (bersama) yang sejati harus berpusat kepada niat “mencari wajah Tuhan”, bukan untuk sekedar melepas penat seperti yang dilakukan sebagian orang. Yang harus dipuaskan dalam kebaktian adalah Allah, bukan pemenuhan kepuasan terhadap orang-orang yang menghadirinya. Itu sebabnya setiap kita menghadiri ibadah, siapkan hati sedari rumah untuk memfokuskan tujuan menyenangkan hati-Nya. Gunakan kesempatan ini sebaik-baiknya untuk membangun mezbah dan takhta bagi-Nya. [JP]